Tuesday, June 1, 2010

Renungan si Kebo

Lama banget gue gak online.
1 minggu lebih gak online bagi gue sama aja dengan tinggal di dalam penjara.
Terlebih gue baru ngalamin hal yang paling gak ingin gue dapetin.

Gue... Baru putus sama pacar gue...

Dengan begitu totalnya menjadi 3 kali.

Tapi anehnya, gak tau kenapa yang kali ini sedikit berbeda dengan 2 sebelumnya.

Mungkin karena gue belum pernah melihat pacar gue sendiri face to face, mungkin juga karena jarak yang jauh, mungkin juga karena cuma bisa komunikasi lewat hp aja, atau mungkin...

Gue udah mulai melunak...

Perbedaan yang paling mencolok mungkin adalah lamanya gue pacaran. Setelah 2 kali sebelumnya dengan "kejam" diputusin setelah berhubungan dalam waktu yang singkat. Yang pertama, 7 hari. Yang kedua, 20 hari. Dan yang kali ini 72 hari. Bukan angka yang pantas dibanggakan, memang. Karena gue udah sering liat banyak pasangan yang awet banget sampai bertahun-tahun, yang selalu bikin gue iri saat ngeliat mereka.

Tapi pikiran gue kembali ke jalur asli (gue gak mau pake kata utama) dalam hidup gue. Gue udah 19 tahun, sebentar lagi 20. Sampai sekarang gue masih belum punya tujuan hidup gue yang sebenarnya. Gak ada yang bisa gue banggain ke orang banyak. Gak ada!

Saat mulai menuju kepala 2, banyak orang menganggap hidup ini menyenangkan. Life is fun! Mereka bisa menikmati hidup, mencari pasangan yang mereka suka, bebas ngelakuin apa aja, bisa ngumpul dengan teman-teman sambil foya-foya, membuat kebisingan di jalan, konvoi-konvoi yang gak jelas, nongkrong di mall, dan masih banyak hal lainnya. Namun waktu mulai masuk kepala 2, hidup seakan banyak tekanan. Umumnya umur 20-an merupakan umur yang layak kerja. Kalau gak kerja, tentu akan dicibir orang. Dianggap pengangguran, sampah masyarakat, yang gak bakal mampu menafkahi diri sendiri hingga saat berkeluarga nanti. Kemudian kalau lagi kuliah, pengennya cepet lulus, wisuda, lalu cari kerja. Gak jarang untuk mencapai tujuan itu (baca : lulus), mereka menghalalkan segala cara. Dari nyontek waktu ujian, sampai ke yang parah, nyuap fakultas buat ngelulusin mereka. Terus? Gak mungkin mereka gak mikirin untuk berkeluarga kan? Yup, menikah mungkin adalah tujuan akhir dari dasawarsa umur 20-an.

Boleh saja kita berpikir secara praktis untuk jangka pendek kan? Seperti untuk lulus kuliah, terus mendapatkan kerja. Menurut gue, hal seperti itu udah hal yang standar banget. Baik cowok maupun cewek pasti punya target untuk masa depan. Namun, kalau untuk berpikir secara strategis, gue ragu banget kalau semua orang bisa.

Sebelum putus, pacar gue pernah bilang ke gue kalau dia salut dengan gue yang udah punya rencana buat nikah nanti, meskipun kami sama-sama tau kalau hal itu belum tentu terjadi. Terus dia bilang lagi, kebanyakan cowok seumuran gue masih nganggap cinta itu sebagai main-main aja.

Salahkah gue? Entah. Tapi mungkin hal kayak gitu yang membuat gue stres. Mungkin udah saatnya gue berhenti memikirkan hal-hal yang belum tentu pasti kayak tadi. Menikah.
Gue belum siap menikah.

Gue sadar, menikah bukan hal yang gampang.
Setelah ngeliat dan bedain perilaku pasangan yang baru nikah dengan pasangan yang udah lama nikah, gue jadi sadar kalau dalam berkeluarga, cinta bukan modal satu-satunya. Atau alasan yang paling mudah : mau nafkahin pake apa? masa makan cuma sepiring berdua? jangan-jangan satu baju juga dipake berdua???
Gue harus matengin dulu niat jasmani dan rohani buat mulai berpikir yang benar soal nikah.

Banyak banget alasan buat putus.
Gak cocok, beda agama, jarak jauh, diselingkuhin, hati yang labil, mantan ngajak balik, dapet yang lain, orang tua nimbrung, dan masih banyak lagi.
Untuk yang kali ini gue bersyukur alasan yang diberikan sangat jelas, gak seperti 2 kali sebelumnya, yang satu plin-plan, yang satunya lagi berpaling ke mantan, gue cuma jadi umpan.
Namun, ada satu hal yang masih mengganjal dalam pikiran gue.

Gue bisa ngerti kalau ortu ingin yang terbaik, melarang kita terus lanjut itu adalah salah satunya. Tapi gue masih gak begitu ngerti tentang masalah jarak.

Terlebih, posisi gue gak menguntungkan karena jauh.

"Jangan. Kalau kamu ke sana lalu diapa-apain bagaimana? Kamu itu satu-satunya harapan keluarga."
Gue juga dibilangin hal yang sama oleh nyokap.
Oke, gue tau. Kami sama-sama harapan satu-satunya keluarga kami masing-masing. Khusus gue, sepeninggal almarhum ayah dan abang gue, gue didaulat jadi penopang keluarga satu-satunya. Keluarga gue telah menaruh harapan besar di pundak gue. Karena itu gue gak bisa banyak bacot dalam pilihan. Gue tetap harus memilih sesuatu yang pasti.

Mungkin ada beberapa kesamaan dari ketiga kali kegagalan gue itu. Ada 'mas' yang berpengaruh terhadap jalan cerita. Entah kecil atau besar, gue gak tau. Karena gue gak pernah bertemu dengan para 'mas' itu.

Gue masih labil. Gue gak tau harus ngapain selain mengharapkan internet kampus jalan terus dan gak putus. Buat apa? Buat nulis pikiran gue yang gak berujung ini.

Banyak orang bilang, "Santai aja, kamu masih muda, sukses aja dulu, pasti banyak cewek yang ngejar" ke gue dengan entengnya.
Oke, itu menghilangkan masalah yang muncul karena patah hati. Tapi masalah lain datang.
"Bagaimana caranya biar bisa sukses?"

Mereka gak pernah berpikir tentang masalah selanjutnya yang tiba-tiba datang. Mereka hanya fokus untuk memecahkan masalah yang menimpa mereka saat ini. Tanpa memikirkan apa yang akan terjadi setelahnya.

Gak jarang cinta sering dijadikan sebagai tujuan hidup.
Dan gak jarang juga melihat orang-orang yang gagal mencapai tujuan itu.
Mereka bisa stres.
Gak menutup kemungkinan bunuh diri pada akhirnya.
Seringnya mereka menjadikan cinta sebagai tuhan, yang patut disembah. Perilaku hiperbola ini sangat banyak dijumpai pada remaja. Kalau gak remaja, hal ini juga ada pada para bujang lapuk. Layakkah kita berperilaku seperti itu? Tidak. Ada banyak tujuan dalam hidup hidup yang masih bisa dicapai. Pendidikan, kesejahteraan hidup, keadilan sosial, dan lain-lain masih perlu kita pertimbangkan. Memang ada banyak masalah dalam hidup. Tapi masalah tersebut tidak boleh kita jadikan sebagai beban dan rasa takut yang berlebih. Ingatlah, dibalik kesusahan pasti ada kemudahan.

Dalam film 3 Idiots, Aamir Khan yang berperan sebagai Ranchho pernah berkata, "Kalau kamu mempunyai permasalahan hidup, jangan diambil susahnya. Santai saja, usap dada, yakinkan diri semua akan baik-baik saja dan katakan, AAL IZZ WELL, AAL IZZ WELL"

Kira-kira begitulah gambaran dari permasalahan setiap manusia, dimana rasa percaya diri sangat sedikit, bahkan sangat kurang untuk menyokong kekuatan hidup. Gak jarang kita liat berita-berita di tv tentang orang yang bunuh diri karena permasalahan yang tidak begitu besar. Seperti remaja bunuh diri karena diputusin pacarnya, atau siswi SMA yang bunuh diri setelah mengetahui dirinya tidak lulus dalam UAN. Terlihat jelas dalam pikiran mereka bahwa 'mati lebih mudah daripada menanggung malu'.

Gue sendiri pernah hampir berpikiran seperti itu. Gue merasa gue hanya bisa mencintai seseorang, tapi gak pernah layak untuk dicintai. Terkadang parahnya, gue berpikiran gue diciptakan tidak untuk dicintai. Dan ujung-ujungnya, gue lebih sering menghindar dari publik dan kenyataan.

Pikiran itu adalah salah besar. Agama sendiri sudah melarang manusia mencabut nyawanya sendiri atau nyawa orang lain. Bahkan manusia yang melakukan bunuh diri telah dijanjikan masuk neraka. Gue gak akan banyak berbicara tentang agama, karena itu diluar jangkauan blog gue. Yang pasti, cobalah untuk melihat segala permasalahan dari sisi yang sebaliknya, dan jangan terlalu sering menatap permasalahan secara straight-forward. Karena terkadang sisi lain permasalahan menyimpan sebuah kebaikan untuk kita. Semua adalah rahasia tuhan. Wallahu 'alam.

Sekarang gue dalam keadaan bebas. Umumnya kalau gue baru bebas, gue masih merasa labil. Kalau diibaratkan, gue kayak anak ayam kehilangan induk. Gue gak tau harus ngapain, gue gak tau harus kemana, terkadang melakukan hal-hal yang bodoh, kadang gak pengen ngapa-ngapain, kadang juga pengen gak melihat dunia satu hari saking labilnya.

Gue sebenarnya gak begini parahnya. Sejak kecil, gue udah terbiasa untuk menyendiri. Gue sering melakukan apapun yang gue mampu sendirian. Daripada kumpul dengan teman-teman sambil ngomongin hal-hal yang gak jelas, gue lebih memilih menyendiri di sudut ruangan. Terkadang menatap jendela, sambil memikirkan hal-hal yang gue rasa sangat penting. Gue juga lebih suka diam sambil mendengarkan. Jadi bagi gue, sendirian bukan masalah. Tapi untuk masalah ini sangat lain. Kebebasan udah seperti pedang bermata dua. Di satu sisi, gue senang bisa ngelakuin apa yang gue pengen lakuin tanpa halangan. Tapi di satu sisi, gue juga membutuhkan seseorang yang bisa mengerti apa keinginan gue dan bisa menghalangi gue kalau gue udah kelewat batas.

Jadi intinya, meskipun gue terlahir sebagai orang yang bebas, gue masih tetap membutuhkan seseorang yang mampu membatasi gue jika gue udah mulai kelewatan.

Entah siapa yang bisa. Gue gak tau. Gue hanya berharap jika memang dibalik peristiwa ini ada rencana-Nya yang lebih baik buat gue, gue akan terima dan gue jalani sepenuh hati.

Langit di bulan Juni terus mendung. Mungkin sesuai dengan hati gue sekarang. Hujan mungkin akan menetes sewaktu-waktu.

Dan mungkin, Juni memang waktu terbaik buat gue untuk merenungi semua ini...

Tapi cerita ini gak akan hilang dalam sejarah gue.

Hidup gue akan dimulai kembali... dalam kesendirian...
Powered By Blogger