Saturday, October 9, 2010

"Ana Uhibbuka Fillah"

Assalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh...

Oke, mungkin ada beberapa dari kalian yang bilang dalam hati, "Tumben lo pake judul bahasa Arab. Lagi mendadak alim abis puasa?", dan gue akan jawab, "Gue gak bisa jawab langsung. Biarlah Dia di atas sana menilai gue, apakah gue udah layak disebut alim atau gak."

Mantep.

Lalu gue lanjut, "Dan gak, gue gak main film 'Mendadak Alim'. Gue aja kalau gak acting udah kayak orang gila yang gaje (gak jelas, kalau masih ada yang belum tau), apalagi disuruh acting oleh sutradara-sutradara terkenal kayak Deddy Mizwar, Rudi Soejarwo, Hanung Bramantyo, Riri Riza, Mira Lesmana, dll, kayaknya gue cuma bakal jadi piguran yang cuma sekedar 'numpang lewat' dan gak dibayar karena jadi piguran orang gila."

Asem...

Ehm, kita lanjut lagi. Kenapa gue sedikit nyinggung soal film di Indonesia seperti di atas? Karena gue ingin mencoba menggali sedikit ke dalam isi dan hikmah sebuah film. Nah lo! Gimana dengan lo semua? Kalau lo lagi nonton film diambil hikmahnya atau cuma ikut nonton aja? Tanyakan lagi pada diri lo sendiri. Dan sementara lo semua lagi sibuk nanya dalam hati, gue akan lanjut.
Para sineas bilang, film itu sebuah seni. Terus para seniman juga sering bilang, seni itu adalah sebuah cerminan dari diri kita. Lalu muncul pertanyaan lagi : jadi film bokep itu juga cerminan hidup para bintangnya? Bingung kan? Jangankan lo, gue juga bingung...

Kita lewati pertanyaan itu. Sekarang gue coba renungi lagi satu hal. Film merupakan sebuah seni yang menjadi cerminan diri manusia. Dengan mengeksplorasi sebuah fiksi, kita bisa membuat sebuah cerita yang banyak ditunggu untuk ditonton oleh orang lain, yang membuat penonton selalu terkesan setiap kali menontonnya, dan seperti tak ingin waktu berlalu karena sebel nunggu episode berikutnya. Dengan mengkreasikan imajinasi, kita bisa membuat setiap adegan menjadi hidup dengan adanya konflik, kebohongan, kepalsuan, sandiwara, dan para pemeran antagonis mempunyai bibir yang tinggi sebelah gara-gara selalu bikin senyum sinis. Film memiliki unsur dramatis yang membuat penonton seperti tersihir seakan-akan masuk dan terlibat dalam setiap scene dan membuat penonton sering kesal dan marah.
Ya tho? Ibu-ibu penggila sinetron Indonesia?

Contoh, Dinda Kanya Dewi, pemeran Mischa dalam Heksalogi (maaf, terlalu dipaksakan) Cinta Fitri yang setiap hari ditayangkan di saluran matahari, selalu dikerumuni para ibu-ibu, bukan untuk minta tanda tangan, tapi pengen ngeroyok gara-gara udah gak tahan dengan tokoh antagonis yang diperankannya. Padahal, keseharian pasangan Derby Romero ini gak seperti di dalam film itu. Seperti itulah sihir film, film dapat menciptakan stereotipe para tokoh dari apa yang dimainkannya. Jika dia bermain sebagai protagonis, dia pasti dianggap orang baik. Jika dia bermain sebagai antagonis, pasti dianggap orang jahat.

Oke, kita balik ke topik awal.
Kenapa gue pake judul kayak di atas? Gue juga gak tau sebabnya. Tapi yang pasti, gue pengen menghubungkan judul postingan ini dengan apa yang gue bahas tadi.

Film berisi sandiwara, tapi sadar gak, hidup ternyata adalah sandiwara terbesar yang pernah Allah susun. Bahkan skenarionya lebih rumit lagi karena pelakunya ada banyak sekali. Lebih banyak dari pelaku-pelaku sinetron murahan yang sering ditayangkan di TV Indonesia. Namun agak berbeda dengan pelaku sinetron, kita hanya memiliki satu kali take tanpa cut. Setiap apa yang kita lakukan akan selalu membekas dalam hati lawan main kita. Allah sebagai sutradara sekaligus produser tidak akan pernah mengatakan 'cut!' setiap kali kita melakukan kesalahan, tapi membiarkan kita terus ber-acting sejauh yang kita bisa sampai pada saat kita dipanggil dan "dipecat" dari sandiwara terbesar yang pernah ada.

Mengenai judul postingan ini, gue akan sedikit mengulas artinya.
Mungkin ada yang udah tau, gak apa. Gue tetap akan maju.
"Ana uhibbuka fillah" itu artinya "Aku mencintaimu kerena Allah". Secara harfiah artinya begitu. Ya udah, bagi yang bingung mau ngomong "I love U" pake bahasa lain, boleh pake kata tadi. Tapi ingat! Suatu saat kata itu akan kita pertanggungjawabkan di hadapan Allah. Jadi jangan pernah main-main dengan kata itu, karena bisa aja ada korban seperti dalam cerita yang gue dapat langsung dari teman gue.

Temen gue pernah pacaran dengan seorang cewek. Masa pacarannya cukup pendek, gak sampai sebulan. Namun katanya, ada 3 hal yang paling buat dia susah dilupakan sekaligus susah buat dia mengerti.

Satu, kata yang diucapkannya saat mulai pdkt.
Dua, kata yang diucapkannya setelah menerima.
Tiga, kata yang diucapkannya saat berpisah.

Semuanya adalah kata yang sama : "Ana uhibbuka fillah".

Dia selalu berpikir, 'apakah kata itu tidak berarti lagi hingga dia bisa berkata seperti itu dengan bebasnya?' Hingga akhirnya dia mulai merasa dikhianati. 'Cinta' yang ia rasakan hanya sesaat. Bukan cinta yang sebenarnya. Dia pun bertanya dengan si cewek soal itu. Apa jawabannya?

"Kenapa aku mutusin kamu, karena aku masih menghargai kamu dan ingin melindungi harga dirimu..."

Begitukah seharusnya melindungi harga diri seseorang? Dengan cara mengatakan "I love U" seenaknya, dan setelah selesai urusan "berpacaran", ia bisa kembali "mengadu kasih" dengan orang yang sebenarnya ia cintai lebih dari orang yang sangat ingin mencoba untuk menjalin hubungan abadi? Apakah itu hal yang wajar, dengan menggunakan orang lain untuk kembali mendapatkan cinta orang yang dulu pernah dicintainya? Apakah cinta "sementara" yang dulu pernah ia berikan itu cuma sandiwara dengan maksud membuat orang yang dulu pernah dicintainya cemburu? Begitukah???

Ingatlah siapa yang lebih dulu mengucapkan "Ana uhibbuka fillah". Suatu saat kata-kata itu akan menjadi bukti apakah yang kau ucapkan itu sesuai dengan apa yang kau pikirkan dan rencanakan. Bukan bermaksud untuk menyudutkan seseorang, tapi setidaknya ini untuk menyadarkan kita yang telah lama dibohongi dengan adanya cinta cinta dan cinta yang hanya keluar dari mulut dan bukan dari hati. Mulut memang mudah mengucapkan, tapi pernahkah kata itu keluar dari hati? Belum tentu kita mampu.

Dan lagi, kata "Ana uhibbuka fillah" gak akan pernah tepat apabila dipakai untuk menunjukkan "cinta"nya anak muda yang lagi getol-getolnya berpacaran. Kata itu hanya diterima Allah bila kita sudah tiba pada masanya untuk mengucapkan kata itu, yang sangat dinantikan oleh pendamping kita, yang insya Allah akan selalu setia menemani kita hingga maut menjelang, yaitu ikatan hidup yang paling valid tanpa expired date. Pernikahan.

Oke, stop. Atas permintaan temen gue, gue akan hentikan bahasan tadi.

Jadi apa hubungannya? Hubungannya adalah "Pantaskah kita bersandiwara dalam hidup?" Jawabannya sangat conditional. Mengingat kita sendiri saat ini sedang melakukan sandiwara kehidupan. Tapi ada perbedaan dengan sandiwara yang dilakukan di pentas seni, kita tidak memiliki "kehidupan kedua". Yang ada hanyalah satu kehidupan yang mutlak harus kita jalani. Tidak akan ada pengulangan. Yang ada hanya moving forward. Kesimpulannya, sebisa mungkin hindarilah sandiwara yang berlebihan, yang mungkin akan mengakibatkan saudara-saudari kita terluka karena skenario yang kita buat. Bersungguh-sungguh dalam berbuat, agar tidak ada lagi kata sesal dalam diri kita. Jalani kehidupan apa adanya. Lakukan apa yang kita bisa, jangan memaksa. Karena mungkin itulah hal yang terbaik untuk hidup kita dan juga orang-orang di sekitar kita.

Dan lagi, maaf jika postingan kali ini menyinggung perasaan beberapa pihak yang membacanya. Tapi jika tidak begitu, maka posting ini tidak akan dibaca sedikitpun. Benar kan?

Sebagai penutup dan kesimpulan dari apa yang gue bla-bla-bla di atas adalah, hanya untuk mengingatkan, manusia tidak memiliki kekuasaan untuk menilai sesuatu. Kita hanya bisa melihat, mengamati, dan memperhatikan sesuatu. Dari hasilnya itu, akan muncul sebuah kesimpulan akan suatu hal. Dan itu bukan penilaian. Penilaian akhir hanya ada di tangan-Nya. Bukan dari apa yang kita rasakan. Karena kita sama sekali tidak berada dalam sudut pandang orang itu. Pasrahkan saja semuanya hanya kepada-Nya Yang Maha Kuasa. Karena manusia hanya bisa "live their life to the fullest". Melakukan hal yang terbaik dalam hidup kita.

Wassalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh...
*turun mimbar*

Thursday, October 7, 2010

Atas Nama Ilmu Pengetahuan

Setiap kali gue denger cerita-cerita orang-orang hebat yang dalam usia muda menjuarai kejuaraan sains alias Olimpiade Sains, gue selalu merinding dan mulai merasa minder.

Contohnya beberapa waktu lalu, temen gue cerita soal keberhasilan siswa SMA gue dulu dengan gurunya, kalau si R juara Olimpiade tiga kali berturut-turut, si B bisa ngalahin si R dalam Olimpiade meskipun si B baru kelas X dan si R udah kelas XII, si T berpotensi juara berturut-turut tapi ngelepasin bidangnya dan kuliah di tempat yang lain dari yang biasa, si A dapat beasiswa luar negeri karena juara, dan lain-lain, gue cuma bisa diam sambil neguk soda yang ada di tangan gue. Gue akui, gue emang minder. Sangat minder.

Mau tau apa yang gue pikirin saat itu? Yang gue pikirin sebenarnya cukup simpel : "Gimana ya, biar bisa kayak orang-orang itu? Pada makan apa ya? Ada kiat belajar khusus gak ya? Otaknya berapa cc sih? Jangan-jangan ada hard drive 128 GB berprosesor Intel Atom i8 di dalam otaknya..."

Oke, gue akui, gue emang lebay. Tapi setidaknya, kelebayan gue bisa membuat gue berpikir lebih mendetail tentang suatu hal. Jadi jangan heran kalau tiap hari uban gue bertambah satu helai.

Faktanya, memfokuskan pikiran dalam menghadapi suatu masalah lah yang menjadi solusinya. Sama seperti mahasiswa yang menerapkan SKS alias Sistem Kebut Semalam. Kita hanya akan belajar makul yang akan diujikan dengan habis-habisan. Apapun yang terjadi, apakah kita ketiduran, mata jadi loyo, bawaannya ngantuk, belajar sampai begadang, dan lain-lain, tidak akan kita hiraukan. Karena yang penting adalah kita bisa menguasai materi yang diujikan besok hanya dalam satu malam. Kalau dicocokkan pada masalah sebelumnya, hubungannya ada pada bagaimana persiapan itu dilakukan. Butuh waktu yang lama mempersiapkan diri menghadapi kompetisi sekaliber Olimpiade Sains. Gak cuma jasmani, mental juga perlu disiapin. Kalau gak, yang ada setelah gagal, adalah stres berkepanjangan.

Ngomong-ngomong soal Olimpiade Sains, percaya gak percaya, waktu SMA dulu gue pernah diusulkan buat ikut dalam Olimpiade Kimia. Hanya saja, the tricky part that made me unqualified was, waktu itu gue udah kelas XI. Dengan kata lain, penjurusan udah dimulai dan gue, mungkin udah pada bisa nebak, ada di kelas IPS. Tapi si guru Fisika jadul itu nolak usulan anak IPA. Berikut cuplikan percakapan apa yang terjadi pada suatu Selasa di bulan November 2006 yang gue denger dari penuturan langsung anak-anak IPA itu :

Guru Fisika Jadul (GFJ) : Oke, Fisika sudah semua. Terus, lanjut ke Kimia. Siapa yang bisa wakilin buat Kimia?
Anak-anak IPA (IPA) : E, Pak!!!
GFJ : Oke, E udah dipilih. Terus yang satunya lagi siapa?
IPA : Aulia, Pak!!!
GFJ : Hah? Gak bisa itu. Dia kan IPS, gak boleh ngewakilin IPA.

Setelah denger berita itu, gue cuma bisa ketawa kecil. Gue gak marah karena diusulkan karena gue tau mereka pernah melihat gue ikut les Kimia mereka. Mereka tau kemampuan gue di bidang itu. Gak masalah kalau gue gak ikut Olimpiade. Gue juga emang gak suka dengan persaingan. Hanya aja yang gue permasalahkan dari hal ini adalah : "Pantaskah Ilmu Dimonopoli?"

Apa cuma anak IPA yang harus tau masalah kesehatan dan yang lain gak? Apa cuma anak IPA yang boleh praktek di Lab dan yang lain gak boleh? Apa cuma anak IPA yang bisa ngerti soal anatomi dan yang lain gak bisa? Dan kalau mau diusut, liat cabang Olimpiade SMA, berapa banyak cabang IPS? HANYA EKONOMI. Gak lebih. Bukan maksud untuk membanggakan fakultas gue berada sekarang, tapi semestinya kita prihatin terhadap kenyataan ini.

IPA hanya boleh pelajari IPA. IPS hanya boleh pelajari IPS. Gak boleh nyeberang. Begitukah seharusnya? Jadi siapa yang akan nanggung kalau nanti lulusan IPA gak suka bersosialisasi dengan sekelilingnya sampai gak tau apa yang terjadi, atau lulusan IPS gak tau apa dampak Monosodium glutamat, Klorofluoro karbon, Tetraethyl lead, Kalium sianida, dan lain-lain bagi kesehatan? Kita? Bukan. Salahkan sistem pendidikan yang cenderung separatis dengan penjurusan. Kita hanya bisa mengikuti sistem saja, tanpa tau maksud sistem. Kita udah lama dijajah dan dibodohi oleh paradigma pendidikan seperti ini.

Jadi apa maksud penjurusan? Gak lain hanya untuk memfokuskan diri dalam menuntut pendidikan. Tapi fokus saja gak cukup. Kita perlu ilmu pengetahuan di sekeliling kita sebagai pelengkap hidup. Contoh saja, sebagai umat beragama, kita perlu belajar ilmu agama, tanpa memperhatikan kita dari jurusan mana. Seperti itulah bagaimana kita membutuhkan ilmu pengetahuan.

Balik lagi ke ilmu pengetahuan, ilmu pengetahuan memiliki peranan penting dalam kehidupan. Ilmu pengetahuan dapat mempengaruhi cara kita berpikir dan bertindak. Ilmu pengetahuan dapat menjadi pelajaran terbaik bagi kita dalam memahami hidup, di luar textbook dan apa yang disampaikan dosen/guru. Ilmu pengetahuan memiliki cakupan luas. Jadi pahamilah lebih dulu ilmu pengetahuan sebelum memulai pendidikan.

Pantaskah ilmu pengetahuan dimonopoli? Kalau gue disuruh jawab, jawaban gue adalah gak. Ilmu pengetahuan itu gak ada yang spesial. Ilmu pengetahuan itu umum. Ilmu pengetahuan itu gak boleh dikhususkan untuk suatu kalangan saja. Karena pada akhirnya ilmu yang kita miliki itu akan diajarkan kembali kepada penerus kita. Kamus juga gak akan bisa bohong. Liat science secara intisarinya. Apa artinya? Ilmu pengetahuan. Dan menurut gue, orang yang melawan ilmu pengetahuan itu sama dengan orang yang melawan waktu, sia-sia.

Contoh, kata cewek, cowok itu gak akan bisa ngerti sedikitpun tentang cewek. Pendapat yang sangat dangkal dan desperate banget buat gue. Boro-boro mau ngelindungin rahasia tentang cewek, cewek aja ada juga yang gak tau apa yang 'seharusnya' udah jadi bidang penguasaannya. Contoh lagi, ada temen gue, cewek, gak tau soal make up, cewek gak bisa masak, cewek gak bisa menjahit, atau lainnya. Kalau masalah inner, cewek juga gak bisa menyangkal kalau rahasia cewek itu udah beredar luas. Buktinya? Tuh, pelajaran biologi, sistem reproduksi... :p

Jadi konklusinya adalah, kita harus bisa berbagi pengetahuan dengan sesama manusia. Jangan pelit! Cewek harus mau berbagi pada cowok apa yang yang mereka ketahui dan pikirin dan sebaliknya, agar bisa terhindar dari hal-hal yang tidak mereka inginkan, sama seperti anak IPA dan anak IPS saling berbagi pengetahuan. Tentang apa yang mereka pelajari dan alami, yang mungkin akan menciptakan kesinambungan terhebat dan terindah dalam hidup manusia, hingga pada akhirnya tidak ada istilah orang bodoh dan orang awam.

Atas nama ilmu pengetahuan, mungkin masa-masa seperti itu akan tercipta di Indonesia...

Dan atas nama ilmu pengetahuan, gue optimis...

"Melawan pada yang berilmu dan berpengetahuan adalah menyerahkan diri pada maut dan kehinaan"
Pramoedya Ananta Toer
Powered By Blogger